Di Jepang ada sebuah kata yang sangat gue suka yaitu ‘Kachikan’. Dalam Bahasa inggris di sebut ‘Value’ dan dalam Bahasa Indonesia di sebut ‘Nilai’. Saat kita bilang “nilai”, kepala kita langsung mengarah ke nilai ujian atau nilai mata uang. Padahal, bukan itu yang di maksud dari kata ‘kachikan’. Kalo di permudah mungkin seperti ini:
Kachikan = Nilai
Nilai = Kachikan
Kata “Kachi” memiliki arti harga dan “kan” memiliki arti melihat. Dengan kata lain, arti kata kachikan adalah harga sesuatu yang dilihat. Saat seseorang melihat sebuah mobil, ada orang yang menilai kalau mobil itu sangat istimewa dan picky saat memilih, maka bagi orang ini mobil memiliki kachikan yang besar. Tapi sebaliknya bila seseorang merasa mobil itu tidak begitu menarik dan merk tidak masalah asalkan bisa dipakai, maka bagi orang ini mobil memiliki kachikan yang kecil. Contoh lain, misalnya ada couple dan yang laki-laki merasa kalau ‘merayakan anniv-month-sarry’ itu sangat penting tapi bagi yang perempuan itu bukan hal yang terlalu penting, maka yang laki-laki memiliki kachikan yang besar terhadap perayaan bulanan tapi tidak bagi yang perempuan.
Kachikan berbeda bagi setiap orang karena kachikan di pengaruhi oleh lingkungan, usia, waktu, dll. Semasa kecil mungkin kachikan kita terhadap uang tidak besar tapi seiring berjalannya waktu, kita menyadari kalau uang sangat penting sehingga kachikan kita terhadap uang bertambar besar. Kachikan bisa juga berubah karena kita menikah. Yang tadinya kita menilai kalau hewan peliharaan itu tidak penting, tapi karena pasangan kita tidak bisa hidup tanpa hewan peliharaan jadi kita juga terikut tidak bisa hidup tanpa hewan peliharaan. Kachikan juga sering menjadi kunci dari suksesnya suatu hubungan. Seperti halnya pernikahan, kita pasti akan berusaha untuk saling menyamakan kachikan supaya tidak terjadi pertengkaran. Di Jepang, kita memahami betul kalau setiap orang memiliki kachikan yang berbeda terhadap sesuatu maka jarang ada orang yang ngotot saat debat atau mengejek saat orang melakukan sesuatu di hidupnya karena pada dasarnya kachikan seseorang terhadap sesuatu adalah sebuah jalan yang menuntun orang itu kepada kebahagiaan.
Entah karena di Indonesia tidak ada kosakata yang bisa menyimbolkan kachikan atau apa, kadang gue merasa sangat sulit untuk menjelaskan hal ini ke teman maupun keluarga. Gue, keluarga dan teman-teman, semuanya dari kecil udah tinggal di kota dan terbiasa dengan mall dan kehidupan perkotaan. Dulu cara gue have fun adalah nonton bioskop, ke kafe, makan di restoran, beli tas/baju, dll. Saat gue bosen pun, gue selalu ke mall untuk ‘lihat-lihat’ tapi pada akhirnya ada aja barang yang kebeli padahal gak butuh-butuh banget. tanpa di sadari gue jadi selalu menginginkan sesuatu, gak pernah puas dan jadi suka iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Tapi waktu gue hidup di Hokkaido, terpisah dari mereka semua dan mall, gue baru menyadari kalau selama ini gue menggantungkan kebahagiaan gue di atas uang. karena gue kesulitan saat gak ada mall dan gak ada apapun disini. Di tempat gue tinggal Cuma ada sawah, supermarket kecil, sungai, dan perhutanan.
Karena tidak ada hal yang bisa gue lakukan, gue memaksa diri untuk masuk ke sawah, kerja bantuin petani milah-milah bibit, bantu kasih makan dan bersihin kandang sapi, bikin garden dan menanam bibit kentang, tomat dll. Susah untuk gue awalnya bisa merasa ‘enjoy’ dengan semua aktivitas ini karena di Dunia pertanian, tidak ada 1 produkpun yang tidak membutuhkan waktu sehingga gue dipaksa untuk menunggu hasil dari usaha gue. Tapi pada saat musim panen tiba, gue gak pernah merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang lebih dari ini di hidup gue. Semua rasa lelah dan usaha itu terbayar saat sapi yang gue urus menghasilkan susu, saat bibit yang gue tanam menjadi berkilo-kilo kentang dan tomat. Disitulah kachikan gue terhadap ‘cara menjadi bahagia’ berubah total. Karena gue tersadar kalau bagi gue kebahagiaan yang lebih besar bisa gue dapatkan dengan memproduksi sesuatu bukan mengkonsumsi sesuatu seperti belanja di mall. tapi, gue disini nggak bilang kalau happy dengan cara belanja di mall itu salah. gue sendiri pun happy kok kalo akhirnya bisa beli barang yang udah lama gue inginkan. tapi, point gue disini adalah setiap orang punya cara bahagianya masing-masing dan cara bahagia itu berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Jadi, kita ga bisa sama ratakan itu ke semua orang. kalau lu orang yang bahagia dengan cara belanja, why not? tapi untuk gue, ya inilah cara gue bahagia sekarang.
Perubahan kachikan dalam cara menjadi bahagia ini adalah salah satu panen terbesar gue selama gue tinggal di Jepang. Gue merasa sangat beruntung Tuhan izinkan gue untuk tinggal di Hokkaido dan di pertemukan dengan Dunia pertanian. Tapi sayangnya, sulit untuk bisa membuat keluarga dan kerabat memahami gue yang ‘telah berubah’ ini karena mereka tidak melihat prosesnya dan tidak mengalami apa yang gue alami (dan ini sangat wajar). Terkadang masih ada orang yang 'menarik' gue kembali ke kehidupan gue yang lama tapi gue cuma ingin mereka tau kalau gue gak mau simply because gue lebih bahagia sekarang.
Semua orang berubah dan itu wajar karena manusia pada dasarnya hanya ingin mengikuti kemana kebahagiaan menuntun mereka. Jadi seandainya ada kerabatmu yang 'berubah' berfkirlah dan mengertilah kalau dia sudah menemukan kebahagiaan barunya dan belajarlah untuk ikhlaskan (selama itu masih di jalan yang benar). karena entah kapan itu, ada waktunya bagi kita untuk berubah juga dan ingin dimengerti oleh mereka.